Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Santu Fransiskus Xaverius, Cabang Kupang, tanggal 25 Oktober 2013, telah genap berusia 50 tahun. Serangkai acara menandai usia setengah abad telah dilaksanakan, dengan hasil antara lain Tim Pembentukan Yayasan Bung Kanis (YBK) dan Panitia Pembangunan Gedung Margasiswa (PGM). Tentu dalam jejak langkah 50 tahun, dengan mengevaluasi kekurangan dan kelebihan, senantiasa PMKRI sebagai organisasi kader di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah menyumbang kader-kadernya. Mengetahui kekurangan di hari kemarin dan menangkap tanda-tanda zaman hari ini dan memprediksinya ke depan, senantiasa menjadi pijakan menapaki pembinaan dan pergerakan PMKRI akan datang, dengan memulai rencana mendirikan YBK dan PGM. Dengan asumsi bahwa YBK dan PGM merupakan dua hal mendasar saling dialektik yang menunjang peningkatan kualitas pengkaderan anggota PMKRI ke depan dalam upaya menjawabi tanda-tanda zaman.
Membaca tanda zaman dan kotbah Uskup Agung
Manusia dan zaman (proses waktu) selalu dialektik dalam mewarnai ziarah hidup kehidupan. Dalam tanda-tanda zaman yang dipantulkan alam semesta (makrokosmos), dan manusia (mikrokosmis) mewarnai proses zaman dengan terlebih dahulu secara cermat dan cerdas membaca pantulan tanda-tanda zaman itu. Kecermatan dan kecerdasan dalam membaca tanda-tanda zaman itu, membuat manusia mampu menegaskan misi dalam mewarnai kelanjutan kehidupan dengan melarut tapi tidak hanyut digilas zaman (Bandingkan Pater Beek, SJ : “LARUT TETAPI TIDAK HANYUT”, Jakarta: Obor, 2008). Melarut !!! Ibarat garam selalu melarut asinnya dalam mewarnai proses masakan makanan. Tetapi keasinan garam itu tidak hanyut, karena kalau hanyut tentu tidak terasa perannya dalam misi menyedapkan makanan. Dalam konteks itu dimaknai spirit pesan Bapak Uskup Agung Kupang Mgr. Petrus Turang, Pr dalam misa syukur 50 tahun PMKRI Kupang, 25 Oktober 2013, tentang “keintelektualan alumni PMKRI Kupang dalam membaca tanda-tanda zaman”.
Harapan Uskup Agung dalam kotbahnya, bahwa PMKRI dan alumninya di daerah provinsi Nusa Tenggara Timur, bahkan di Indonesia harus mampu membaca tanda-tanda zaman, agar dapat berperan secara baik dan benar sebagai kekuatan intelektual. Artinya dalam memaknai pesan kotbah itu, para kader PMKRI dalam mewarnai proses zaman senantiasa melarut, namun dituntut untuk tidak hanyut digilas zaman. Alumni PMKRI tentu melarut di mana-mana dalam mewarnai proses zaman, namun tentu tidak boleh hanyut ke mana-mana. Antara lain Yang Mulia Bapak Uskup Agung menandaskan bahwa korupsi itu memang tidak baik, dan harus ditolak, titik !!!. Tidak ada kompromi lagi untuk itu. Dengan demikian alumni PMKRI tidak boleh hanyut dalam korupsi di setiap peran intelektualnya yang melarut dalam setiap proses mewarnai pembangunan kemanusiaan dan kesemestaan alam demi kemuliaan Allah, Sang Pencipta.
Pantulan tanda-tanda zaman sering menampakan citra manusia merupakan makhlukdualitas, berdiri di titik antara rasional (homo sapiens), ketajaman intelektualitas dan irasional (homo religious), kedasyatan keyakinan, di dalam perannya sebagai makhluk sosial (homo socio), fraternitas. Dalam keterbelahan diri manusia sebagai makhluk dualitas, agama seharusnya senantiasa hadir (omnipresent), sebagai kekuatan iman (Kristianitas)yang meneguhkan/menyatukan dalam setiap kebersamaan kehidupan manusia dan alam semesta demi kemuliaan Sang Pencipta. Kekuatan iman yang dasyat senantiasa menggerakan keberanian setiap manusia menembus kabut gelap perjalanan zaman dalam konflik irasionalitas vs rasionalitas. Semua dimensi (irasionalitas tradisi/keyakinan, rasionalitas ilmu pengetahuan/logika, dalam kebersamaan sosial/fraternitas) senantiasa dalam tititk temu keteguhan kedasyatan iman supaya terjadi harmoni dalam proses zaman: saling dialektik-integralistik-sinergik !!! Jika dimensi-dimensi itu tidak mencapai titik temu (harmoni) dalam prosesnya, tentu akan terjadi gejolak dalam diri manusia. Gejolak yang mewarnakan kebersamaan sosial yang saling berhadapan antara irasionalitas vs rasionalitas.
Keteguhan kedasyatan iman agama (kristianitas) menjadi hal terutama dalam mencahaya-terangkan titik temu antara tradisi (keyakinan, irasionalitas) dengan ilmu Pengetahuan (modernitas, rasionalitas) di dalam kebersamaan kehidupan sosial, fraternitas. Dalam keteguhan kedasyatan iman agama yang digembleng dalam PMKRI, senantiasa ke depan kader PMKRI diandalkan dapat menetralisir kecenderungan ambigu dalam dirinya sebagai manusia. Karena tanda zaman kekinian dan akan datang senantiasa tidak terhindarkan pemantulan keterpecahbelahan keutuhan kemanusian dalam diri pribadi setiap anak zaman. Dengan demikian salah satu dimensi yang mendominasi dirinya, kecenderungan itulah yang akan menggerakan pewarnaan zamannya. Fenomena kebersamaan sosial yang rasional, sering ditandai dengan terkikisnya spiritualitas manusia, digerus oleh kebuasan dan ketamakan manusia itu sendiri. Semua warna kekerasan zaman melalui ketamakan manusia itu tidak hanya mewariskan permasalahan, tapi menjadi refleksi bahwa manusia di samping mempunyai kehakikian kemanusiaan, juga memiliki kecenderungan kebinatangan (kesrigalaan). Manusia bisa lebih buas daripada binatang terbuas. Melihat dimensi kebuasan manusia itu, Hobbes kemudian menyebut manusia sebagai homo homoni lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain.
Pesatnya kemajuan dalam bidang informasi tidak hanya melipat dunia menjadi kecil, namun meleburkan batas teritorial, dan mengaburkan garis penegasan identitas primordial (ras, bahasa, budaya, ideolgi), sekalian memantulkan pula realitas keberingasan manusia dalam memuja materi, imaji, kehormatan, dan gengsi tanpa batas. Dalam himpitan ruang proses zaman yang demikian, manusia menjadi terasing dengan diri sendiri. Spiritualitas (tradisi yang diteguhkan iman agama) sebagai roh kehidupan terkikis. Manusia tidak lagi berpikir secara benar, cerdas, dan mempunyai hati yang merasakan secara baik, cermat, etik!!! Kedasyatan cahaya iman agama yang menerangi nurani dalam mengemban tanggungjawab kemanusiaan dalam pewarnaan zaman, menjadi terhanyut dalam kabut gelap perseteruan kepentingan sosial vs kepentingan individu, suku, kelompok. Menjebak manusia sering dalam ketidaksadarannya, ibarat robot!!! Terasing dari diri sendiri dan kebersamaan sosial sebagai akibat dorongan kuat hasrat penguasaan terhadap materi yang merupakan andalan kebahagiaan dan kehebatan duniawinya. Maka sering ketakutan dan kecemasan terus menggerayangi keteguhan kedasyatan iman agamanya. Ketika ketidakseimbangan itu terus membayangi dalam upaya pewarnaan zaman, maka depresi sosial pun terjadi, frustras kehidupan melanda. Lalu merasa benar dan meyakini baik apa yang dibuat dalam setiap proses pewarnaan zaman, walaupun itu tidak sesuai dengan spiritualitas iman agama. Dalam konteks pantulan tanda-tanda zaman demikian, ditempatkan pesan Uskup Agung tentang kekinian dan akan datang diperlukan keahlian komunikasi informasi dan psikolog dalam menyampaikan pesan (menjelaskan) pantulan tanda-tanda zaman itu. Artinya komunikasi informasi yang cerdas, cermat, tepat, santun untuk dapat ditangkap, dipahami oleh para alumni PMKRI, agar peran mewarnai (melarut) dalam proses zaman, senantiasa tidak hanyut digilas zaman.
Refleksi 50 tahun , “titik temu”nya Cosmas dan keberanian Bung Kanis
Harapan Cosmas Batubara dalam “Temu dan Sarasehan Alumni” tanggal 24 Oktober 20013, bahwa keberadaan alumni dalam setiap pewarnaan zaman harus menjadi “titik temu” dalam dualitas pewarnaan hidup manusia zamannya. Hal itu menjadi kesaksian hidup Bung Cosmas dalam seluruh kiprah kehidupan politik dan pemerintahan yang telah dilaluinya. Artinya sesuai kemampuan dirinya, Cosmas selaku alumni PMKRI selalu berusaha menjadi sintesa dalam setiap tesis vs antitesis pewarnaan zaman kehidupannya. Begitupun seorang Bung Kanis (Petrus Kanisius Pari Parera), pendiri PMKRI Kupang 25 Oktober 1963. Keberanian seorang Bung Kanis, nampak dalam mendirikan PMKRI Kupang bersama komponen kekuatan katolik lainnya sebagai sintesa terhadap tesis komunis vs antitesis militer saat itu. Hal itu dilakukan pula Cosmas Batubara dalam tahun 1966 sebagai Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam mengganyang kekuatan komunis di Indonesia. Keberanian Bung Kanis muncul lagi dengan mau balik dari Jakarta ke Kupang, dan menetap di akhir 1979–1987. Dengan niat dan harapan membina keberanian berpolitik generasi muda mahasiswa (Bandingkan Kanis Pari: JANGAN TAKUT BERPOLITIK, Jakarta: Bank Naskah Gramedia-Pakem, 2004), agar kelak lahir lapisan generasi baru pemimpin masa depan di NTT. Maka seluruh pembinaan informal PMKRI ditangani Bung Kanis, antara lain dengan mulai mengarsiteki terbentuknya Aktifitas Pendalaman Iman (API) yang menghimpun setiap generasi muda mahasiswa di kota Kupang sesuai asal keuskupannya. Harapan Bung Kanis menjadi nyata saat memasuki abad 21, banyak pemimpin muda NTT lahir dari sentuhan pembinaannya bersama PMKRI Kupang.
Keintelektualan alumni PMKRI membaca tanda-tanda zaman melalui kedasyastan terang iman kristiani demi pewarnaan zaman di setiap kebersamaan sosial, telah dipesankan Uskup Agung Kupang. Di waktu lalu telah menjadi kesaksian hidup dalamkeberanian seorang Bung Kanis dan dalam “titik temu”nya seorang Cosmas Batubara, keduanya telah mencahaya-terangkan iman kristiani, melarut tetapi tidak hanyut!!! Tentu pesan Uskup Agung Kupang, kesaksian hidup Bung Kanis dan Cosmas Batubara menjadi refleksi bagi seluruh alumni yang kini sedang bersama-sama mewarnai proses zaman. Ke depan, diharapkan kader, alumni PMKRI dalam kedasyatan kekuatan iman (kristianitas) harus berani berjuang menyatukan secara harmonis: antara berfikir logis (rasional),intelektualitas dengan keyakinan etik (kebaikan hati) yang sering irasional, magic-religius di dalam membangun kebersamaan sosial (fraternitas), sehingga saling dialektik-integralsitik-sinergis dalam pewarnaan zaman.
Sebagai kader PMKRI, dalam setiap kebersamaan pewarnaan zaman senantiasa tetap memiliki pendasaran keteguhan kedasyatan iman. Dengan demikian dalam keliaran pikiran, dalam pengembangan ide dan membangun gerakan, senantiasa selalu terukur demi mendidik hati dan merawat nurani sosial. Dalam keberanian mencari dan mencapai titik temu dalam proses pewarnaan zaman, di situ terletak keberhasilan membangun keharmonisan hidup bersama yang menembus kabut gelap tanda-tanda zaman dalam konflik irasional vs rasional, tradisionalisme vs modernism, kepentingan sosial vs kepentingan individu, suku, kelompok. Di situ bersinar terang cahaya kemanusiaan sebagai citra diri dari Sang Pencipta. Dalam dialektika pewarnaan zaman yang demikian diletakan spirit pemahaman tentang rencana pendirian Yayasan Bung Kanis (YBK) dan Pembangunan Gedung Margasiswa (PGM) sebagai hasil refleksi 50 tahun PMKRI Kupang, untuk ke depan selalu: “Manunggal dengan Umat, terlibat bersama Rakyat !!!”
Khotba Uskup Agung secara tegas meminta PMKRI Kupang bersama seluruh alumni sebagai kekuatan intelektual senantiasa mampu membaca tanda-tanda zaman melalui kekuatan terang iman (kristianitas). Maka dalam konteks semboyan PMKRI religio omnium sciantiarum anima, “agama adalah jiwa dari segala ilmu pengetahuan”, tentu dalam menapaki 50 tahun ke depan makna semboyan itu harus direflesikan demi penyempurnaan pemahaman dalam menuntun pewarnaan zaman. Perumusan yang refleksif: “keyakinan tradisi yang selalu diteguhkan dalam iman agama menjadi jiwa dari segala ilmu pengetahuan”. Artinya keyakinan tradisi yang bertentangan dengan nilai kristianitas, sehingga tidak mungkin terteguhkan dalam iman agama, senantiasa tidak menjadi jiwa dari ilmu pengetahuan, untuk digunakan dalam pewarnaan zaman. Dengan demikian PMKRI dan alumni terus merefleksi diri: apakah selalu ada iman sebiji sesawi yang terus membenih dan selalu tumbuh dalam pewarnaan zaman sehari-hari melalui kepasrahan hidup yang berkerendahan hati untuk selalu mengasihi Allah? Karena dalam diri Allah itu tercitrakan kemanusiaan seorang anak manusia dan kesemestaan alam sebagai ciptaanNya! ***
Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, 29 Oktober 2013