Minggu, 03 November 2013

Membaca tanda zaman dan Refleksi 50 tahun PMKRI

         Oleh Chris Boro Tokan

                                                           
         Perhimpunan Mahasiswa Katolik  Republik Indonesia (PMKRI), Santu Fransiskus Xaverius, Cabang  Kupang,    tanggal 25 Oktober 2013, telah genap berusia 50 tahun.  Serangkai acara menandai usia setengah abad telah dilaksanakan, dengan hasil antara lain Tim Pembentukan  Yayasan  Bung Kanis (YBK) dan Panitia Pembangunan Gedung Margasiswa (PGM). Tentu dalam jejak langkah 50 tahun, dengan mengevaluasi kekurangan dan kelebihan, senantiasa PMKRI sebagai organisasi kader di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah menyumbang kader-kadernya. Mengetahui kekurangan di hari kemarin dan menangkap tanda-tanda zaman hari ini dan memprediksinya ke depan, senantiasa  menjadi pijakan menapaki  pembinaan dan pergerakan PMKRI  akan datang, dengan memulai rencana mendirikan YBK  dan PGM.  Dengan  asumsi  bahwa  YBK dan  PGM merupakan dua hal mendasar  saling dialektik yang  menunjang peningkatan  kualitas  pengkaderan  anggota  PMKRI  ke depan dalam upaya  menjawabi tanda-tanda zaman.

Membaca tanda zaman dan kotbah Uskup Agung

       Manusia dan zaman (proses waktu)  selalu dialektik dalam mewarnai  ziarah hidup kehidupan.  Dalam tanda-tanda zaman yang dipantulkan  alam semesta (makrokosmos),  dan manusia (mikrokosmis) mewarnai  proses zaman dengan terlebih dahulu secara cermat dan cerdas  membaca  pantulan tanda-tanda zaman itu. Kecermatan dan kecerdasan dalam membaca tanda-tanda zaman itu, membuat manusia  mampu menegaskan misi dalam mewarnai kelanjutan  kehidupan  dengan melarut tapi tidak hanyut  digilas zaman (Bandingkan Pater Beek, SJ : “LARUT TETAPI TIDAK HANYUT”, Jakarta: Obor, 2008). Melarut !!! Ibarat garam selalu melarut  asinnya dalam mewarnai proses masakan makanan. Tetapi  keasinan garam itu tidak hanyut, karena kalau hanyut tentu tidak terasa perannya dalam misi menyedapkan makanan. Dalam konteks itu dimaknai spirit pesan Bapak Uskup Agung Kupang  Mgr. Petrus Turang, Pr dalam misa syukur 50 tahun PMKRI Kupang, 25 Oktober 2013, tentang “keintelektualan  alumni  PMKRI  Kupang  dalam  membaca  tanda-tanda  zaman”.

       Harapan Uskup Agung dalam kotbahnya, bahwa PMKRI dan alumninya  di daerah provinsi Nusa Tenggara Timur, bahkan di Indonesia harus mampu membaca tanda-tanda zaman, agar dapat berperan secara baik dan benar sebagai kekuatan intelektual.  Artinya dalam memaknai pesan  kotbah itu,  para kader PMKRI dalam mewarnai proses zaman senantiasa melarut, namun dituntut untuk tidak hanyut digilas zaman. Alumni  PMKRI tentu melarut di  mana-mana dalam mewarnai proses  zaman, namun tentu tidak boleh hanyut  ke mana-mana. Antara lain Yang Mulia Bapak Uskup Agung menandaskan bahwa korupsi itu memang tidak baik, dan harus ditolak, titik !!!. Tidak ada kompromi lagi untuk itu. Dengan demikian alumni PMKRI tidak boleh hanyut dalam korupsi di setiap peran intelektualnya yang  melarut dalam setiap proses mewarnai pembangunan kemanusiaan dan kesemestaan alam demi kemuliaan  Allah, Sang Pencipta.

       Pantulan tanda-tanda zaman sering menampakan citra manusia merupakan makhlukdualitas, berdiri di titik antara rasional (homo sapiens), ketajaman intelektualitas dan irasional (homo religious), kedasyatan keyakinan, di dalam perannya sebagai makhluk sosial (homo socio), fraternitas. Dalam keterbelahan diri manusia sebagai makhluk dualitas, agama seharusnya  senantiasa hadir (omnipresent), sebagai kekuatan iman (Kristianitas)yang meneguhkan/menyatukan dalam setiap kebersamaan kehidupan manusia dan alam semesta demi kemuliaan Sang Pencipta. Kekuatan iman yang dasyat senantiasa menggerakan keberanian setiap manusia menembus kabut gelap perjalanan zaman dalam konflik irasionalitas vs rasionalitas. Semua dimensi (irasionalitas tradisi/keyakinan, rasionalitas ilmu pengetahuan/logika, dalam kebersamaan sosial/fraternitas) senantiasa dalam tititk temu keteguhan kedasyatan  iman supaya  terjadi harmoni dalam proses  zaman: saling dialektik-integralistik-sinergik !!! Jika dimensi-dimensi itu tidak mencapai titik temu (harmoni) dalam prosesnya, tentu akan terjadi gejolak dalam diri manusia. Gejolak yang mewarnakan kebersamaan sosial yang saling berhadapan antara irasionalitas vs rasionalitas.  

         Keteguhan kedasyatan  iman agama  (kristianitas) menjadi hal terutama dalam mencahaya-terangkan titik temu antara tradisi (keyakinan, irasionalitas)   dengan ilmu Pengetahuan  (modernitas, rasionalitas)  di dalam kebersamaan  kehidupan sosial, fraternitas.  Dalam keteguhan kedasyatan iman agama yang digembleng dalam PMKRI, senantiasa ke depan kader PMKRI diandalkan  dapat menetralisir kecenderungan ambigu  dalam dirinya sebagai manusia. Karena tanda zaman kekinian dan akan datang senantiasa tidak terhindarkan pemantulan  keterpecahbelahan keutuhan kemanusian dalam diri pribadi setiap anak  zaman. Dengan demikian salah satu dimensi  yang mendominasi dirinya, kecenderungan itulah yang akan menggerakan pewarnaan zamannya. Fenomena kebersamaan sosial yang rasional, sering ditandai dengan terkikisnya spiritualitas manusia,  digerus oleh kebuasan dan ketamakan manusia itu sendiri. Semua warna kekerasan zaman melalui ketamakan manusia itu tidak hanya mewariskan permasalahan, tapi menjadi refleksi bahwa manusia di samping mempunyai kehakikian kemanusiaan, juga memiliki kecenderungan kebinatangan (kesrigalaan). Manusia bisa lebih buas daripada binatang terbuas. Melihat dimensi kebuasan manusia itu, Hobbes kemudian menyebut manusia sebagai homo homoni  lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain.

          Pesatnya kemajuan dalam bidang informasi tidak hanya melipat dunia menjadi kecil, namun meleburkan batas teritorial, dan mengaburkan garis penegasan identitas primordial (ras, bahasa, budaya, ideolgi), sekalian memantulkan pula realitas keberingasan manusia dalam memuja materi, imaji, kehormatan, dan gengsi tanpa batas. Dalam himpitan ruang proses zaman yang demikian, manusia menjadi terasing dengan diri sendiri. Spiritualitas  (tradisi yang diteguhkan iman agama) sebagai roh  kehidupan terkikis. Manusia tidak lagi berpikir secara benar, cerdas, dan mempunyai hati yang merasakan  secara baik, cermat, etik!!! Kedasyatan cahaya  iman agama  yang menerangi nurani dalam mengemban tanggungjawab kemanusiaan dalam pewarnaan zaman, menjadi  terhanyut  dalam  kabut  gelap perseteruan kepentingan sosial vs kepentingan individu, suku, kelompok. Menjebak manusia  sering dalam ketidaksadarannya,  ibarat robot!!!  Terasing dari diri sendiri dan kebersamaan sosial  sebagai akibat dorongan kuat hasrat penguasaan terhadap materi yang merupakan andalan kebahagiaan dan kehebatan duniawinya. Maka sering ketakutan dan kecemasan terus menggerayangi keteguhan kedasyatan iman agamanya. Ketika ketidakseimbangan itu terus membayangi dalam upaya pewarnaan zaman, maka depresi sosial pun terjadi, frustras kehidupan melanda. Lalu merasa benar dan meyakini baik apa yang dibuat dalam setiap proses pewarnaan zaman, walaupun itu tidak sesuai dengan spiritualitas iman agama.  Dalam konteks pantulan tanda-tanda  zaman demikian,  ditempatkan pesan  Uskup Agung  tentang kekinian dan akan datang diperlukan keahlian komunikasi  informasi  dan psikolog dalam menyampaikan pesan (menjelaskan)  pantulan tanda-tanda zaman itu. Artinya komunikasi informasi yang cerdas, cermat, tepat, santun   untuk dapat ditangkap, dipahami oleh para alumni PMKRI, agar peran mewarnai  (melarut)  dalam proses zaman,  senantiasa  tidak hanyut digilas  zaman.


Refleksi  50 tahun , “titik temu”nya  Cosmas dan keberanian Bung Kanis


      Harapan Cosmas Batubara dalam “Temu dan Sarasehan Alumni” tanggal  24 Oktober 20013, bahwa keberadaan alumni  dalam setiap pewarnaan zaman  harus  menjadi “titik temu” dalam dualitas  pewarnaan hidup manusia zamannya. Hal itu menjadi  kesaksian hidup  Bung Cosmas dalam seluruh kiprah  kehidupan politik dan pemerintahan yang telah dilaluinya. Artinya sesuai kemampuan dirinya, Cosmas selaku alumni PMKRI selalu berusaha  menjadi   sintesa dalam setiap tesis vs antitesis  pewarnaan zaman  kehidupannya. Begitupun seorang  Bung Kanis (Petrus Kanisius Pari Parera), pendiri  PMKRI Kupang  25 Oktober 1963. Keberanian seorang Bung Kanis, nampak dalam mendirikan PMKRI Kupang bersama komponen kekuatan katolik  lainnya sebagai sintesa terhadap tesis komunis vs antitesis   militer saat itu. Hal itu dilakukan pula Cosmas Batubara dalam tahun 1966 sebagai Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam  mengganyang kekuatan komunis di Indonesia. Keberanian Bung Kanis  muncul lagi  dengan mau  balik  dari  Jakarta  ke Kupang, dan menetap di akhir 1979–1987. Dengan niat dan harapan membina keberanian berpolitik generasi muda mahasiswa (Bandingkan Kanis Pari: JANGAN TAKUT BERPOLITIK, Jakarta: Bank Naskah Gramedia-Pakem, 2004), agar kelak lahir  lapisan generasi baru pemimpin masa depan di NTT. Maka seluruh pembinaan informal PMKRI ditangani Bung Kanis, antara lain dengan mulai mengarsiteki  terbentuknya  Aktifitas Pendalaman Iman (API) yang menghimpun setiap generasi muda mahasiswa di kota Kupang sesuai asal keuskupannya.   Harapan Bung Kanis menjadi  nyata saat memasuki abad 21, banyak pemimpin muda NTT lahir dari sentuhan pembinaannya bersama PMKRI Kupang.

     Keintelektualan alumni  PMKRI  membaca tanda-tanda zaman  melalui kedasyastan  terang iman kristiani  demi pewarnaan zaman di setiap kebersamaan sosial, telah  dipesankan Uskup Agung Kupang. Di waktu lalu telah menjadi kesaksian hidup dalamkeberanian seorang Bung Kanis  dan dalam “titik temu”nya seorang Cosmas Batubara, keduanya  telah mencahaya-terangkan iman kristiani, melarut tetapi tidak hanyut!!!  Tentu pesan Uskup Agung Kupang,   kesaksian hidup Bung Kanis dan Cosmas Batubara  menjadi  refleksi  bagi seluruh alumni yang kini sedang bersama-sama mewarnai  proses  zaman. Ke depan, diharapkan kader, alumni PMKRI  dalam kedasyatan kekuatan iman (kristianitas) harus berani berjuang menyatukan secara harmonis:  antara berfikir logis (rasional),intelektualitas dengan  keyakinan etik  (kebaikan  hati)  yang sering irasional, magic-religius  di dalam  membangun kebersamaan sosial (fraternitas),  sehingga saling dialektik-integralsitik-sinergis dalam pewarnaan zaman. 

       Sebagai kader PMKRI,  dalam  setiap kebersamaan  pewarnaan zaman senantiasa tetap  memiliki  pendasaran keteguhan kedasyatan iman. Dengan demikian  dalam keliaran pikiran, dalam pengembangan  ide dan membangun gerakan, senantiasa selalu terukur  demi mendidik hati dan merawat nurani sosial. Dalam keberanian mencari dan mencapai titik temu dalam proses pewarnaan zaman, di situ terletak  keberhasilan membangun keharmonisan hidup bersama  yang menembus kabut gelap tanda-tanda zaman dalam konflik irasional vs rasional, tradisionalisme vs modernism,  kepentingan sosial vs kepentingan individu, suku, kelompok. Di situ bersinar terang  cahaya kemanusiaan  sebagai citra diri dari Sang Pencipta.  Dalam dialektika pewarnaan zaman yang demikian  diletakan spirit  pemahaman tentang   rencana pendirian Yayasan Bung Kanis (YBK)  dan Pembangunan Gedung Margasiswa (PGM) sebagai  hasil refleksi 50 tahun PMKRI Kupang, untuk ke depan selalu:  “Manunggal  dengan  Umat, terlibat bersama Rakyat !!!”

          Khotba Uskup Agung  secara tegas meminta PMKRI Kupang bersama seluruh alumni sebagai  kekuatan  intelektual senantiasa mampu membaca tanda-tanda zaman melalui kekuatan terang iman (kristianitas). Maka dalam konteks  semboyan PMKRI religio omnium sciantiarum anima, “agama adalah jiwa dari segala ilmu pengetahuan”, tentu dalam menapaki 50 tahun ke depan makna semboyan itu harus direflesikan demi penyempurnaan pemahaman dalam menuntun pewarnaan zaman. Perumusan yang refleksif: “keyakinan tradisi yang selalu diteguhkan dalam iman agama menjadi jiwa dari segala ilmu pengetahuan”. Artinya keyakinan tradisi yang bertentangan dengan nilai kristianitas, sehingga tidak mungkin terteguhkan dalam iman agama, senantiasa tidak menjadi jiwa dari ilmu pengetahuan, untuk digunakan dalam pewarnaan zaman. Dengan demikian PMKRI dan alumni terus merefleksi diri:  apakah selalu  ada iman sebiji sesawi yang terus membenih dan selalu tumbuh  dalam pewarnaan zaman  sehari-hari  melalui  kepasrahan hidup yang berkerendahan hati untuk selalu mengasihi Allah? Karena dalam diri Allah itu tercitrakan kemanusiaan seorang anak manusia dan kesemestaan alam sebagai ciptaanNya! ***

                                                 Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, 29 Oktober 2013  
*Catatan senior saya Chris Boro Tokan, setelah kegiatan 50 tahun PMKRI Cabang Kupang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar