“Salam sastra NTT. Novel saya
yang kedua berjudul “Benang Merah” akan terbit dalam waktu dekat. Saya sudah
minta beberapa komentar lepas dari teman-teman. Dengan hormat, saya minta
kesediaan Bapak untuk berikan komentar lepas yang nantinya akan dipasang di
halaman awal novel tersebut. Komentarnya seputar isi novel, 2-5 paragraf. Atas
kesediaanya, saya ucapkan terima kasih. Kalau bersedia, saya minta alamat
emailnya agar bisa mengirimkan file novelnya. Terima kasih. Unu Ruben Paineon”.
Begitulah pesan yang dikirim saudara saya, Ruben kepada saya via facebook. Secara
pribadi saya merasa berhutang setelah pernah diminta beliau untuk bergabung
menggarap proyek Antologi puisi tentang
kemiskinan yang di inisiasi putra/i NTT, dan saya menghilang secara sengaja
karena kesibukan lain.
Penasaran.
Itu situasi awal yang saya rasakan ketika diminta sahabat Ruben Paineon untuk
memberikan komentar tentang novel ke-2 nya. Mulailah saya cari waktu tenang
untuk mengikis rasa penasaran saya dengan membaca Benang Merah. Membaca secara perlahan – lahan, berusaha masuk
semakin dalam ke alur kisahnya. Rasa
penasaran, berubah begitu cepat menjadi sesuatu yang tidak asing karena saya
seperti berjalan ke dalam pengalaman sendiri di kampung sana. Kefamenanu.
Secara
terang Ruben menjelaskan realitas kehidupan yang kompleks dan mengharukan. Jika
kita mengingat beberapa waktu yang lalu,
Presiden SBY pernah mengklaim kalau pertumbuhan ekonomi naik. Artinya kehidupan
bangsa membaik. Benarkah? Untuk sebagian tempat, mungkin iya. Buat beberapa
level masyarakat, mungkin benar. Mereka merasakan perbaikan kehidupan. Lewat
Benang Merah Ruben paineon mengajak. Sesekali coba buanglah pandangan ke pedalaman
timur Nusa Tenggara. Pulau Timor. Pulau yang strategis karena berbatasan darat
dengan Timor Leste dan berbatasan laut dengan Australia. Pulau yang mestinya
jadi teras/halaman depan juga sebagai pintu masuk dan akses ke negara tetangga,
tampak terpojok dengan istilah miskin, tertinggal, dan terbelakang.
Berkisah
tentang Ego, Jiwa dan jatidiri seorang pemuda bernama Kolo, novel Benang Merah karya sahabat saya Ruben
Paineon, membuka mata kita tentang realitas masyarakat (bukan hanya di Timor) secara
lebih telanjang. Pengemis di Jawa, dan pencuri di Timor, Tidak ada beda, kalau
kita telusuri akar masalahnya. Anak
jalanan, sarjana yang sibuk mencari kerja, masyarakat yang masih terpenjara
dalam mitos ditengah kemajuan dunia digital, adalah serpihan-serpihan yang
menunjukkan bangsa ini tampak gamang.
Saya merasakan Benang Merah, sangat menyentil.
Jangan sampai bangsa ini terlena dengan kemajuan yang dijabarkan dalam data
statistik. Disajikan hanya dalam angka-angka, yang sebenarnya mudah sekali
dimanipulasi. Masih banyak mereka yang butuh perhatian. Bahkan untuk urusan
yang sangat penting seperti pendidikan,
penegakan hukum, juga akses terhadap pekerjaan. Membaca lalu
merenungkan Benang Merahnya Ruben
Paineon, kita tersadar di pedalaman timur nusantara, bangsa ini masih perlu
banyak berbenah.
Kolo
terus mencari jatidiri ditengah bangsa yang tampak kehilangan jatidiri. Sungguh menyentil.
Salam.
Hery Opat.
Masyarakat biasa tinggal di Jakarta.
NB.
Novel Benang Merah akan terbit dalam
waktu dekat. Dan itu komentar saya setelah membaca keseluruhan isi novel kawan
saya Ruben Paineon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar