Setelah beberapa saat tidak menulis di laman blog ini, banyak hal juga kejadian yang saya alami telah terlewati.
Diantara sekian banyak hal yang saya maksud, yang ingin saya tulis adalah sesuatu tentang kesedihan. Kesedihan itu perasaan yang wajar, manusiawi. Siapa saja pasti pernah mengalami. Di luar alasan-alasan lain tentang mengapa orang bersedih, saya bersedih karena kehilangan. Kehilangan beberapa orang dekat dalam waktu yang sangat berdekatan.
03 Januari 2014, Teman dekat dulu semasa smp di HTM Halilulik, Febby Adja berpulang.
25 Februari 2014, Pa Cokro Arianto, senior sekalian sahabat yang baik di kantor meninggal, setelah bergelut dengan sakit selama sebulan lebih di RS. Cikini.
28 Februari 2014, Saat masih bersedih sepulang dari pemakaman Pa' Cok, info duka datang dari Kupang. Saudaraku Wily Opat juga berpaling ke kehidupan yang lain dari dunia ini. Kaget sontak terpukul tak percaya, karena sebelum meninggal malamnya, beliau masih menghubungi aku via chat fb.
3 Maret 2014, saat masih dalam sedih duka ku, di kantor ada berita lagi, Bpk Th. Sinurat, ayahanda dari Bpk. Sahat Sinurat,direktur PPPHI (unit kerja aku) tutup usia.
Rentetan kehilangan ini membawa suasana sedih yang mendalam, apalagi dalam rentan waktu yang persis beruntun. Untuk Feby, Pa Cokro dan Willy, saya sungguh terpukul. Pengecualian untuk Bpk, Th. Sinurat, karena secara pribadi saya tidak begitu dekat dengan Bpk. Th. Sinurat, tetapi hanya karena dalam suasana kerja, ada empaty karena duka orang di sekitar kita.
Semua cukup menyisakan rasa. Terkadang aku masih merasa benci mengikhlaskan sesuatu, apalagi soal persahabatan. Ini jelas bukan refleksi tentang kehilangan, karena aku tahu duka tetap sama saja rasanya. Sesak. Ada yang bilang itu takdir, dan yang sudah pergi pasti tetap terjaga. Saya sadar itu, entahlah, mungkin atas nama solidaritas, menjadi tulus itu tidak mudah.
*Awal Maret
Dalam duduk sambil menghirup dalam-dalam sebuah kesedihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar