Hari ke hari waktu berganti, Indonesia makin terpuruk
dengan korupsi. Yang paling menghebohkan belakangan adalah tertangkapnya
pimpinan MK, Akil Mochtar, dalam sebuah 'operasi tangkap tangan' yang dilakukan oleh KPK.
Banyak pengamat menganggap inilah keterpurukan hukum
negeri ini. Institusi tertinggi pengawal konstitusi, benteng terakhir hukum negeri
ini, ternyata dipimpin oleh seorang yang korup. Seperti kiamat.
Kita sebagai manusia cuma bisa membuat konsep,
aturan, mendirikan lembaga, institusi, otoritas untuk menangani segala hal yang
kita anggap sebagai kejahatan. Namun kehidupan ini selalu membawa dua
hal yang tak dapat dipisahkan; good and evil. Terserah bagaimana Anda
memadankan bahasa untuk dua kata bahasa Inggris tersebut, tapi namanya kebaikan
dan kejahatan selalu ada. Pada dasarnya manusia itu homo homini lupus, saling
memangsa sesamanya.
Jika kita ambil contoh pembunuhan, sama halnya
dengan korupsi, penyuapan, kolusi, nepotisme. Mungkin sejak manusia kenal apa
itu jual beli, apa itu alat transaksi berupa uang, atau mungkin sebelumnya,
korupsi adalah suatu bentuk praktik manusia yang sudah ada dan
berkesinambungan. Jadi, jangan terlalu naif beranggapan bahwa korupsi bisa
dibasmi. Bahkan dengan menggunakan hukum yang katanya dari Tuhan, korupsi akan
terus ada dan dilakukan oleh manusia. Maka dari itu, bersikaplah realistis.
Dalam banyak diskusi, hingga mimbar, di layar tv,
khutbah, semua orang menyuarakan efek
jera. Silakan berlakukan hukuman mati, mencontoh di Cina. Kemudian lihat
grafiknya, apakah korupsi bisa bersih? Bisa menurunkan grafiknya, tapi bisakah
tuntas dan ludes seketika? Mau potong jari, kaki, dimiskinkan, dibabat habis
sampai sekeluarga, apakah akan memberikan efek jera?
Timbul kecurigaan, “jangan-jangan efek jera
adalah konsep yang absurd.” atau malah sebenarnya yang dimaksud efek jera
adalah apa yang tercantum dalam diagram saja. Jika demikian, semestinya kita
lebih realistis bahwa apa yang bisa kita lakukan hanya sebatas di posisi mana
angka kita. Apakah level tindak pidana korupsi di negeri ini menurun atau
tidak. That’s it! Kita bukan Tuhan dengan Kun FayakunNya, hocus
pocusNya, que sera seraNya, avada kedavraNya. Bisa jadi, statistik adalah yang
kita sesungguhnya kita sembah.
Maka dari itu yang terpenting untuk dielaborasi
bukanlah bagaimana memunculkan efek jeranya, melainkan bagaimana sistem
bekerja. Contohnya; jelas sekali kita lihat bahwa praktik pemalakan dan
pungutan liar di Indonesia sudah menjamur. Dari lingkungan di sekitar kita
sampai lingkungan pemerintahan. Kita hidup di Indonesia dan tumbuh berkembang
dengan keadaan sebegini rupa hingga bisa kita bilang menjadi bagian dari budaya
kita. Meski banyak orang yang menampik jika ini dibilang membudaya, tapi tidak
ada langkah pasti untuk mencegahnya. Tak heran apabila kehidupan berpolitik
kita yang dibiayai dari hasil pungli, lalu menyuburkan korupsi, suap, dan
lain-lain.
Persoalan siapa saja yang mau korupsi, silakan
saja korupsi. Berbuat baik atau jahat adalah pilihan, tapi setiap pilihan yang
kita ambil akan ada konsekuensinya. Hukum yang adil, tegas, dan tidak pandang
bulu yang diinginkan rakyat. Gambaran sederhana
tentang bagaimana sistem di negara ini seharusnya bekerja. Mampukah kita
sebagai rakyat, yang menduduki jabatan di pemerintahan atau tidak, untuk
mewujudkannya? Negara bukanlah given dari Tuhan, langit, kekuatan
impersonal, atau semacamnya. Negara adalah hasil tindak-tanduk manusia. Jika
budaya kita budaya korupsi, tak perlu geram andaikan negara ini masuk daftar
salah satu yang terkorup. Angka bicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar