Senin, 07 Oktober 2013

Angka Bicara



Hari ke hari waktu berganti, Indonesia makin terpuruk dengan korupsi. Yang paling menghebohkan belakangan adalah tertangkapnya pimpinan MK, Akil Mochtar, dalam sebuah 'operasi tangkap tangan' yang dilakukan oleh KPK.

Banyak pengamat menganggap inilah keterpurukan hukum negeri ini. Institusi tertinggi pengawal konstitusi, benteng terakhir hukum negeri ini, ternyata dipimpin oleh seorang yang korup. Seperti kiamat. 

Kita sebagai manusia cuma bisa membuat konsep, aturan, mendirikan lembaga, institusi, otoritas untuk menangani segala hal yang kita anggap sebagai kejahatan. Namun kehidupan ini selalu membawa dua hal yang tak dapat dipisahkan; good and evil. Terserah bagaimana Anda memadankan bahasa untuk dua kata bahasa Inggris tersebut, tapi namanya kebaikan dan kejahatan selalu ada. Pada dasarnya manusia itu homo homini lupus, saling memangsa sesamanya. 

Jika kita ambil contoh pembunuhan, sama halnya dengan korupsi, penyuapan, kolusi, nepotisme. Mungkin sejak manusia kenal apa itu jual beli, apa itu alat transaksi berupa uang, atau mungkin sebelumnya, korupsi adalah suatu bentuk praktik manusia yang sudah ada dan berkesinambungan. Jadi, jangan terlalu naif beranggapan bahwa korupsi bisa dibasmi. Bahkan dengan menggunakan hukum yang katanya dari Tuhan, korupsi akan terus ada dan dilakukan oleh manusia. Maka dari itu, bersikaplah realistis.

Dalam banyak diskusi, hingga mimbar, di layar tv,  khutbah, semua orang menyuarakan efek jera. Silakan berlakukan hukuman mati, mencontoh di Cina. Kemudian lihat grafiknya, apakah korupsi bisa bersih? Bisa menurunkan grafiknya, tapi bisakah tuntas dan ludes seketika? Mau potong jari, kaki, dimiskinkan, dibabat habis sampai sekeluarga, apakah akan memberikan efek jera?

Timbul kecurigaan, “jangan-jangan efek jera adalah konsep yang absurd.” atau malah sebenarnya yang dimaksud efek jera adalah apa yang tercantum dalam diagram saja. Jika demikian, semestinya kita lebih realistis bahwa apa yang bisa kita lakukan hanya sebatas di posisi mana angka kita. Apakah level tindak pidana korupsi di negeri ini menurun atau tidak. That’s it! Kita bukan Tuhan dengan Kun FayakunNya, hocus pocusNya, que sera seraNya, avada kedavraNya. Bisa jadi, statistik adalah yang kita sesungguhnya kita sembah.

Maka dari itu yang terpenting untuk dielaborasi bukanlah bagaimana memunculkan efek jeranya, melainkan bagaimana sistem bekerja. Contohnya; jelas sekali kita lihat bahwa praktik pemalakan dan pungutan liar di Indonesia sudah menjamur. Dari lingkungan di sekitar kita sampai lingkungan pemerintahan. Kita hidup di Indonesia dan tumbuh berkembang dengan keadaan sebegini rupa hingga bisa kita bilang menjadi bagian dari budaya kita. Meski banyak orang yang menampik jika ini dibilang membudaya, tapi tidak ada langkah pasti untuk mencegahnya. Tak heran apabila kehidupan berpolitik kita yang dibiayai dari hasil pungli, lalu menyuburkan korupsi, suap, dan lain-lain.

Persoalan siapa saja yang mau korupsi, silakan saja korupsi. Berbuat baik atau jahat adalah pilihan, tapi setiap pilihan yang kita ambil akan ada konsekuensinya. Hukum yang adil, tegas, dan tidak pandang bulu yang diinginkan rakyat. Gambaran sederhana tentang bagaimana sistem di negara ini seharusnya bekerja. Mampukah kita sebagai rakyat, yang menduduki jabatan di pemerintahan atau tidak, untuk mewujudkannya? Negara bukanlah given dari Tuhan, langit, kekuatan impersonal, atau semacamnya. Negara adalah hasil tindak-tanduk manusia. Jika budaya kita budaya korupsi, tak perlu geram andaikan negara ini masuk daftar salah satu yang terkorup. Angka bicara.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar