Seorang Bayi harus membayar penuh untuk ASI
(Tulisan Wawan Setiawan, Okt. 2008,)
Rabu 8 oktober 2008 dunia telah ditandai runtuhnya liberalisme
total. Amerika sebagai provokator utama Liberalisme sendiri telah menjadi
liberalis terpimpin/terkontrol sejak kongres setuju menalangi/memberikan hutang
ke pihak2 swasta yang arus kas-nya mengering. Sore hari sambil tetap menyimak
berita, mengamati indeks bursa, dan meratapi nasib dan hanya bisa geleng2
kepala, yang siang itu harus membeli USD sebesar Rp 9800/per 1 USD untuk
membayar kewajiban ke hongkong, saya sempetkan menelpon anak dan istri saya di
Russia, saya kabarkan ke mereka bahwa Your Lenin, Your Trotsky, dan Your Marx
tersenyum simpul melihat dunia saat ini. Di kota-kota Russia yang namanya Lenin
Skaya/Street, Karl Marx street berada dimana-mana. Patungnya bahkan menyebar
hampir di setiap kota, sehingga sangat menancap erat di mind penduduk kota
Russia.
Menyimak langkah2 pemerintah Indonesia saat ini, barulah saya sedikit menaruh
apresiasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tiba2 melakukan
kontrol penuh penutupan bursa saham, menyarankan BUMN buy back saham2 yang ada,
tiba2 Bapak Presiden kita berubah arah secara drastis. Sore hari sempat melihat
berita di TV bahwa beberapa negara eropa telah mengambil alih penuh kontrol
otoritas keuangan, Islandia telah melakukan pemotongan uang/devaluasi hingga
40% dan Russia turun tangan untuk menyuntikan dana ke Bank Sentral. Teman saya
perwira polisi yang pada hari selasa kita berdiskusi dengan apa yang terjadi
dengan uang-nya, dan saya pada hari selasa sudah mempunyai feel sebaiknya bursa
ditutup untuk sementara, meminta penjelasan lagi dengan kejadian hari rabu pagi
siang dan sore. Jelasnya penjelasan singkat saya adalah ini kemenangan kecil
komunisme, jangan berpersepsi negative dulu terhadap komunisme yang orang
Indonesia kaitkan dengan PKI, namun komunisme adalah kontrol penuh pemerintah
terhadap otoritas2 politik, ekonomi, dan budaya.
Di TV dan portal2 berita, masih saja saya saksikan orang2 tidak
setuju bursa ditutup atau turun tangannya pemerintah terhadap otoritas
keuangan, kontrol BI exchange rate, dan kontrol2 lainnya. Jelasnya analisa saya
mungkin hanya beberapa golongan yang berteriak seperti ini, yang pertama orang
yang tidak mau lose atau menerima kekalahan dalam short selling bursa sehingga
ingin memanfaatkan rebound bursa namun tidak punya kesempatan (ini karakter
serakah), yang kedua pihak swasta kuat atau kelas atas Indonesia seperti Sofyan
Wanandi yang sudah mencicipi fasilitas banyak dari pemerintah dan saat ini
sudah berfundamen kuat, dan ketiga agen2 Amerika yang tetap ingin melanggengkan
kekuasaan ekonomi di Indonesia. Sejak BBM naik saya selalu beropini bahwa ini
negara gila, mohon maaf saya sangat marah terhadap pemerintah Indonesia dan
sangat tidak menaruh hormat sedikitpun, meski saya menyadari bahwa saya menghirup
udara, meminum air dari tanah pertiwi ini. Liberalisasi minyak dan gas saat itu
saya ibaratkan bahwa Ibu pertiwi yang kita cintai mempunyai susu ASI, yaitu
minyak dan gas, dan kita adalah anak kandung dari Ibu pertiwi ini, namun kita
harus membayar ASI yang kita minum padahal kita masih bayi (setidaknya subsidi
pemerintah tetap diperlukan dengan pertimbangan kekuatan ekonomi rakyatnya)
Meski saya menghirup energi ibu pertiwi ini, namun sejak saya
menggeluti bisnis IT, saya sangat merasakan sedikitnya peran pemerintah dalam
mendukung regulasi2 dan memfasilitasi bisnis IT, untuk itulah secara mandiri
saya harus mencari celah2 yang bisa dimanfaatkan dan mencari2 peluang2 sendiri.
Rasanya begitu berat menjadi rakyat Indonesia ini yang dibiarkan dan tidak dituntun
untuk menjadi dewasa, bahkan harus rela untuk selalu terjengkang ketika belajar
berjalan. Saya sangat terkesan dengan patriotisme rakyat Russia, wajar saja
karena mereka semua adalah pekerja negara, dan negara memberi makan terhadap
mereka, layak untuk dibela mati matian hingga titik darah terakhir, wajar
Stalingrad dipertahankan mati-matian dari serbuan Nazi Jerman, sebagai imbal
baliknya negara sangat melindungi mereka seperti anak kandung dari Ibu pertiwi
yang sangat dicintai, melarang anak-nya terhadap hal2 yang tidak menguntungkan
bagi anaknya.
Ketika final liga champion 2008 banyak jurnalis mengeluh terhadap
pemeriksaan masuk ke Moskwa, tidak mengherankan bagi saya yang harus rela
mencopot sepatu dan sabuk ikat pinggang untuk diperiksa ketika masuk dan keluar
ke negara komunis (laptop diacak-acak), dan ketika pulang harus ditanya membawa
uang berapa (melindungi kapital flight). Jelasnya membawa uang masuk ke negara
komunis adalah dimudahkan, dan disusahkan ketika membawa uang keluar, hal makro
ekonomi yang sempat saya pahami ketika mendengar penjelasan dari manajer hotel
Bakrie di negara komunis yang kesulitan mengirim uangnya ke tanah air. Bahkan
ketika pulang itu saya ingat betul bahwa teman saya Pak Teguh yang menjadi koki
di hotel itu, yang harus membawa usd 1000 untuk anak istri di Indonesia harus
melakukan split uang usd 500 untuk saya bawa (uang saya tinggal usd 100 untuk
pulang, karena saya sudah menghabiskan kira2 usd 10.000 untuk 2 bulan
berkelana). Split uang ini untuk memudahkan agar teman saya ini tidak
dipersulit ketika pulang ke tanah air Indonesia hanya gara2 membawa uang cukup
banyak bagi negara komunis saat itu.
Membaca kompas hari rabu kemaren saya cukup tersenyum ketika
mengingat buku 1001 mati ketawa cara Russia, saking mereka orang2 serious dan
wajahnya selalu tegang, maka banyolan-banyolannya menjadi konyol. Berita yang
menjelaskan pemerintah Russia telah melakukan penutupan bursa sebelumnya dan
mempertimbangkan untuk membuka bursa dengan cara transaksi yang dinegosiasikan,
tidak boleh menggunakan komputer, namun hanya boleh dilakukan secara lisan. Hal
ini ditempuh agar bursa bisa dikontrol penuh dan bisa diseimbangkan karena
dengan tidak boleh memakai komputer secara langsung maka bisa menolak anomali
transaksi. Jelasnya seperti tulisan saya sebelumnya bahwa komputer, Internet,
dan teknologi informasi adalah produk American Dreams, yang membuat sesuatunya
sangat sulit dikontrol dan memicu gerakan2 liar. Aneh juga seperti balik pada
jaman dulu bahwa transaksi bursa dilakukan tanpa menggunakan komputer, tapi
inilah kewaspadaan jeli ala Russia,konyol namun mengena. (seperti kisah sufi
Nasrudin Hoja, konyol dan cerdas)
Sebelum peristiwa ini terjadi gonjang ganjing ekonomi Indonesia
yang tiada henti karena berkiblat ke liberalis hampir total. Dari rencana
penjualan BUMN (swastanisasi), liberalisasi minyak dan gas, kenaikan harga2
barang, sempat geleng2 kepala apakah bapak Presiden ini terlalu diikat di
sangkar emas Istana hingga tidak mengerti rasa penderitaan rakyatnya. Namun
hari rabu kemaren tiba2 arah kebijakan ekonomi dibalik 180 derajad, BUMN
disarankan membeli sahamnya kembali, semoga menjadi penyadaran baru pemerintah
Indonesia.
Mungkin saya orang yang hanya sekedar bingung saja, bahwa kepala
saya dibentur-benturkan terhadap apa yang bisa saya baca, pelajari, dan
menangkap “feel” dari gerakan kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 dan fakta di
lapangan. Indonesia bisa menjadi ada saya pahami karena Naar de Republiknya Tan
Malaka, konsep awal tentang negara Republik Indonesia. Indonesia ada karena
merupakan dialektika dari Anti Thesis Imperalisme Belanda. Para pendiri
republik ini seperti Ir. Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain2 jelas merupakan
orang2 sosialisme dari ide2 Marx. Tahun 1945 feel yang saya dapatkan adalah
euforia kemenangan Bolshewik yang baunya menyebar kemana-mana. Wajar saja
karena Bolshewik menawarkan kontra imperialis. Wajar saja jadinya ketika
Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi hakekat undang/hukum Indonesia yang saya
pahami memberikan feel ala Marx. Namun memahami UUD 1945 ini sungguh sulit di
era 2000 ketika saya sedikit memahami ekonomi makro, dan politik. Mungkin
Indonesia lebih enjoy bereksperimen lagi dengan NASAKOM, dengan mencoba
menerapkan membenturkan 2 kutub yang berbeda dan melangkah ke arah gaya tarik
masing2 sesuai dimensi waktu saja, atau jelasnya memilih abu abu yang bergerak
saja. Untuk berubah mungkin kepala kita harus dihantam batu dulu.
-----------------
*Tulisan ini masih pas dibaca di situasi kekinian
*Gambar, saya ambil dari google