Tentang sejarah Gestok dan Gestapu
yang tidak banyak diketahui oleh generasi sekarang, maka pada post saya kali
ini, saya menulis tentang peristiwa yang pernah mewarnai sejarah bangsa kita
itu. Beberapa tahun yang lalu Mas Jerry Indrawan, seorang pengamat sejarah,
menulis dengan cukup bagus tentang konspirasi sejarah ini. sebagian tulisan
saya ini adalah rangkuman pemikiran beliau.
Akronim Gestok (Gerakan 1
Oktober) diperkenalkan oleh Bung Karno karena peristiwa yang dikendalikan CIA
tersebut berlangsung setelah tengah malam. Penganut Orde Baru senang sekali mendiskreditkan
peristiwa tersebut dengan istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh)/ G 30
S agar mirip dengan pasukan Gestapo Nazi. Jahat ya Orde Baru!!
Hari Kesaktian Pancasila
diselewengkan serta dikaburkan substansi, tujuan, dan maknanya hanya untuk
memuluskan kepentingan penguasa. Kesaktian Pancasila bukan teruji dari
peristiwa G30S/PKI yang disiasati oleh CIA, tetapi memang sudah teruji
menghantarkan Indonesia merdeka dan mempertahankan kemerdekaan. Orde Baru yang
memanipulasi peristiwa dan julukan tersebut, akhirnya hanya membawa bangsa ini
mundur ke belakang.
Soeharto, komprador di balik
peristiwa Gestok, selanjutnya mendapatkan peran sentral mendominasi kekuasaan
di republik ini. Sepertiga hidupnya dia habiskan menjadi presiden dengan
membohongi rakyatnya sendiri, memperkaya keluarganya dari darah dan nyawa
orang-orang yang tewas tanpa pengadilan dan hak pembelaan diri, serta
mendedikasikan hidupnya sebagai perpanjangan kapitalis dan imperialis Barat
untuk terus-menerus meneriakkan bahaya laten PKI.
Secara geografis, Indonesia berada
dalam posisi strategis menyambung benua Asia daratan dan Australia. Pengaruh
komunisme terus merambat dari Rusia terus ke Cina, Korea, dan Vietnam.
Kekhawatiran komunisme merangsek ke Australia menjadikan Indonesia sebagai
negara yang memiliki peran strategis menghempang pengaruh komunisme.
Secara geopolitik, Indonesia
memiliki pemimpin sekuat Presiden Soekarno yang anti penjajahan dan anti
penindasan, pemimpin yang menginspirasi kemerdekaan negara-negara Asia Afrika
dari kolonialisme. Figur Soekarno sangat mengganggu kepentingan kapitalis dalam
menangkal komunisme. Gangguan tersebut direspon oleh CIA dengan beberapa kali
upaya pembunuhan terhadap Bung Karno, seperti pelemparan granat di Sekolah
Cikini.
Keahlian CIA melihat gesekan di grass
root antara Partai Komunis Indonesia yang memberikan tanah kepada rakyat di
satu sisi dan para ulama yang menguasai puluhan/ratusan hektar tanah pesantren
untuk menghidupi para santrinya di sisi lain menjadi dasar analisa CIA untuk
menggulingkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, sehingga isu Dewan
Jenderal/Dewan Revolusi hanya ilusi yang sengaja dipublikasi sebagai bentuk
makar terhadap Presiden Soekarno.
Korban peristiwa Gestok hanya
sebagai martir, sebagai dalih pembenaran atas pembinasaan ratusan ribu hingga
jutaan rakyat Indonesia yang dicap PKI untuk dieksekusi secara kejam tanpa
mendapatkan pembelaan diri dan pengadilan hukum. Siapa saja yang melakukan
eksekusi sekejam itu? Sejarah kita tidak menjangkaunya.
Stigma PKI begitu membekas,
berlanjut hingga anak cucu korban yang mendapatkan perlakuan menyedihkan selama
rezim Orde Baru berkuasa. Bahkan kartu identitas pun diberi tanda khusus bahwa
yang bersangkutan tersangkut bahaya laten yang harus diwaspadai. Secara
psikologis, korban terintimidasi hak asasi, hak politik, dan hak ekonominya.
Soeharto benar-benar serius
menjadikan komunis sebagai momok yang menakutkan bagi masyarakat. Rekayasa
kekejaman komunis divisualisasikan dalam film dokumenter yang wajib diputar
setiap 30 September. Bertujuan brainwash, menciptakan kesan dan citra
bahwa PKI merupakan musuh bersama yang harus ditakuti. Tidak sebanding nyawa
tujuh jenderal bila dibandingkan dengan nyawa ratusan ribu/jutaan orang.
Setelah ditelusuri, jenderal yang terbunuh pun ternyata pengikut setia Bung
Karno, berbeda dengan Jenderal Abdul Haris Nasution yang selamat dari peristiwa
dan Soeharto yang memang binaan CIA.
Sanksi sosial berupa pengucilan dan
diskriminasi tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga bangsa Indonesia
terjebak dalam arus utama keinginan rezim Orde Baru dan Barat, energi dan
pemikiran rakyat terkuras untuk persoalan tersebut.
Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban), lembaga yang dibentuk untuk mensterilkan dan
menginvestigasi lawan-lawan Orde Baru memiliki kewenangan penuh untuk
menyingkirkan siapa saja yang dianggap mengancam kekuasaan dan eksistensi rezim
Soeharto.
Pembubaran Kopkamtib yang dinilai
kejam, tidak manusiawi, dan mendapatkan tekanan lembaga internasional,
digantikan dengan membentuk Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional)
dan Bakorstanasda (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah). Lembaga baru
ini hanya mengganti jubahnya saja, tetapi kolornya tetap sama, memuaskan libido
kekuasaan Soeharto. Tugas menyingkirkan orang-orang yang dicurigai
berseberangan dengan pemerintah dan mengeliminir bangkitnya paham komunis
dijalankan dengan kepatuhan.
Peristiwa 27 Juli 1996, kantor DPP
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Soekarnoputri diserbu oleh
sekelompok orang berambut cepak yang mengatasnamakan pendukung mantan Ketua
Umum PDI Soerjadi. Penyerbuan yang dikomandoi oleh Yoris Raweyai (Pemuda
Pancasila) ini melakukan briefing di Tugu Monas dengan kamuflase Hari
Kesetiakawanan Sosial. Menjelang subuh, agenda berubah menjadi penyerangan
kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro.
Pilihan represif dengan tujuan
pendongkelan Megawati sebagai Ketua Umum PDI dibenarkan karena dianggap membahayakan
rezim Soeharto. Harus selalu ada kambing hitam berlabel komunis, Partai Rakyat
Demokratik (PRD) pun menjadi dalih korban kebusukan politik ketakutan yang
dicitrakan militer dan Soeharto.
Soeharto terbukti telah membawa
bangsa ini menuju jurang penistaan yang parah. Harga diri dan kehormatan bangsa
ini telah terjual dengan harga yang sangat rendah dan memakan jutaan korban
jiwa.
Roda berputar, jarum jam bergerak.
Pengalaman kejahatan Soeharto mengkudeta Bung Karno berulang ketika rakyat
menjungkalkan Soeharto dari kediktatorannya. Waktu berlalu, di akhir-akhir sisa
hidupnya, Soeharto terus merenungi nasib sebelum akhirnya dijemput malaikat
maut Januari 2008 silam.
Paham komunisme terbukti gagal untuk
dijadikan pegangan dan pandangan hidup rakyat Indonesia yang dikenal memiliki
tingkat religiusitas dan spiritualitas yang tinggi. Namun, bukan berarti kita
sebagai bangsa Indonesia dilarang mempelajari paham tersebut, termasuk
paham-paham apapun yang ada di dunia ini.
Cina memodifikasi paham komunis yang
dianutnya dengan memberikan kebebasan beragama bagi rakyatnya dan membuka pasar
bagi ekonominya. Tetapi kontrol negara terhadap sektor publik, distribusi
kesejahteraan, dan memastikan rakyat memperoleh hak-haknya tidak bisa
dilepaskan kepada sektor swasta.
Keterlibatan AS
Pernah ada pernyataan tegas tentang
keterlibatan Amerika di peristiwa 1 Oktober 1965 (Gestok - Gerakan 1 Oktober)
disampaikan oleh korban 1965 yang tergabung di Yayasan Penelitian Korban
Pembunuhan 1965/1966 (YPKP ˜65) pada konferensi pers di gedung Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Konferensi pers saat itu dihadiri oleh Bedjo
Untung, Ketua YPKP 65, Sumini, aktivis Gerwani, dan Heru Atmodjo, saksi
peristiwa Gestok.
Pernyataan para korban seakan ingin mengingatkan
kembali kepada publik tentang satu peristiwa sejarah yang direkayasa oleh rejim
otoritarian Jenderal Soeharto. Beberapa tahun belakangan ini terasa isu
peristiwa 1965 kurang muncul di permukaan. Pemerintah pun seakan membiarkan isu
ini terapung-apung ke dalam ketidakjelasan. Sementara itu, kalangan akademisi
terus membangun jalinan cerita dari fakta-fakta sejarah yang mendekati
peristiwa sebenarnya saat itu. Berbeda dengan sejarah versi pemerintah.
Peristiwa yang dikenal dengan G 30 S itu masih menjadi kontroversi dan kajian
sejarah yang rumit karena mengalami distorsi sejarah yang dilakukan rejim
otoritarian Jenderal Soeharto secara membabi buta.
Ada banyak fakta sejarah
menyimpulkan keterlibatan pemerintah Amerika dalam merekayasa peristiwa Gestok.
Salah satunya yang paling dipercaya adalah dokumen Central Intelligence Agency
(CIA) yang dikeluarkan Amerika sendiri. Dokumen itu membuka tabir kelam siapa
yang bertanggung jawab atas peristiwa Gestok.
Pada dokumen CIA disebutkan adanya
pertemuan para intelejen dari CIA pada Maret 1965. Pertemuan yang dihadiri
Averell Harriman, William Bundy, Elsworth Bunker dan Howard P. Jones, bekas
Duta Besar Amerika untuk Indonesia berisi wacana tugas CIA dalam menentukan
garis strategi penggulingan Presiden Republik Indonesia Sukarno.
Menurut Heru Atmodjo, Amerika pernah
menyerang sebanyak tujuh kali untuk menjatuhkan Sukarno secara langsung, namun
semuanya gagal. Sukarno begitu populer di hadapan rakyatnya. Soekarno yang
menghimpun kekuatan non blok di seluruh dunia dan anti imperialis barat
mengancam kepentingan barat. Hal itu membuat CIA memutuskan untuk menjatuhkan
Sukarno secara tidak langsung, katanya.
Gestok merupakan operasi intelejen
canggih. Sebagai anak bangsa kita perlu mencari tahu. Mempelajari sejarah
yang tidak tercatat dalam buku-buku pelajaran tentang dampak besar dari
pertarungan ideologi yang terjadi sejak dulu di Indonesia
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar