Rabu, 27 November 2013

Scripta Manent Verba Volent

If you don't have time to read, you don't have the time (or the tools) to write. Simple as that.
(Larry King)

-----------------
"Besok  Jam 10 di Kampus Unas, Akan ada kegiatan bedah buku saya. Kalau sempat, hadir ya!" .  Begitu kira kira pesan ajakan dari kawan saya Wilfried Yons Ebiet, kemarin. 

Ebit kawan saya ini, sekarang lagi mengambil program magister politik di salah satu universitas di Jakarta. Saya lebih mengenalnya sebagai seorang penulis.  sudah beberapa buku yang ditulisnya dan yang terakhir dia menulis "Ambil uangnya Jangan pilih orangnya"  yang sementara dalam safari pembahasan ke kampus-kampus se-Jakarta. Di beberapa kali kesempatan saya juga terlibat diskusi bersama beliau di PMKRI, FORMADDA dan MSC. Cukup dulu soal Ebit. 

 ------------------
Saya sendiri tidak pernah punya cita-cita jadi penulis. Keterampilan menulis memang harus dilatih, apalagi menulis buku-buku serius dan banyak membutuhkan penelitian.  Agak beda dengan teman saya Ebit yang saya tahu lebih konsen menjadi penulis. Awalnya Menulis di blog seperti ini saya rasa hanya seperti sebuah keisengan yang kurang jelas tujuannya. hehehe.. Belakangan saya sadar, tanpa keinginan menjadi penulispun, saya di blog ini sedang belajar. Belajar menuangkan sesuatu di isi kepala, agar tidak dilupakan, belajar merangkai sesuatu secara nalar, untuk orang lain mengerti. Setidaknya itu, karena ada juga ungkapan 'Scripta Manent Verba Volent',  Tulisan akan tetap abadi. 

-----------------
Selamat dan sukses selalu buat Wilfried Ebit. Sorry tidak sempat hadir di sana. 



Selasa, 26 November 2013

Penasaran dengan Wahib

Ketika Salim Said menuliskan "Cara melontarkan Pikiran"  sebagai ulasannya teerhadap buku "Catatan Seorang Demonstran" yang diterbikan kembali oleh LP3S, dia coba menambahkan perbandingan terhadap kajian Dhaniel Dhakidae terhadap dua sosok yaitu Gie dan Wahib. Daniel Dhakidae memang secara detail coba membahas dua karakter tokoh muda yang sudah almarhum itu dengan cukup terperinci. Dan Salim Said tegas membedakan Soe Hok Gie sebagai aktivis, dan Ahmad Wahib sebagai perenung. Walau di akhir, Dhakidae dan Said sepakat bahwa Gie dan Wahib adalah sama-sama intelektual.

Tentang Gie, pemikiran dan aksinya bisa dibaca di buku "Catatan Seorang Demonstran". Atau mungkin bisa menonton film "Gie" yang sudah pernah diangkat lewat karya visual.  Bukunya sudah saya baca, filmnya juga sudah saya tonton. Silahkan kalau anda belum membaca dan menonton filmnya.

Hanya saja saya cukup penasaran dengan Ahmad Wahib. kumpulan catatan-catatannya sudah dibukukan oleh rekan-rekannya dalam " Pergolakan Pemikiran Islam". Jelas rasa penasaran saya begitu kuat, karena jujur, saya belum membaca buku itu. Selain itu memang nama Wahib, tidak sepopuler pemikir islam lain seperti, Nurcholis, Gusdur, atau Djohan Effendi. Hanya sepintas saya baca pengantar yang cukup dalam oleh Daniel Dhakidae.

Saya rencana akan membeli buku itu nanti awal bulan. Tunggu gajian.







Rabu, 20 November 2013

Saya adalah hadiah

Semalam saya bilang sesuatu sama istri. "De besok tanggal 21". Kemudian dia berseloroh "oh iya.. hampir lupa" lalu kami sama-sama tersenyum.

Setiap tanggal 21 bulan November, istri saya berulang tahun. Kali ini adalah ulang tahun pertama dia sebagai seorang istri tentunya, karena dia bersedia saya nikahi beberapa bulan yang lalu. hehehehe.

Jadi begini. Saya sadar apapun jenis hubungan tak dapat mengalahkan kedekatan hubungan suami-istri. Walau terlahir dari darah yang berbeda, akhirnya orang selalu mengagungkan hubungan suami-istri sebagai tulang dari tulang atau daging dari daging setiap pasangan.

Untuk kali ini saya tidak akan memberi sesuatu kepada dia di hari ulang tahunnya. Karena saya tau saya sendiri adalah hadiah terindah buat dia.

Pagi tadi kami bersama berdoa. dan saya panjatkan doa yang tulus.

Tuhan engkau telah menjadikan jiwa ini penuh
Kesempatan bersama se-bahtera adalah anugerah
Ulang tahun bisa jadi tidak penting
Tapi biarlah kami selalu bersyukur karena adanya kesempatan

Selamat ulang tahun istri tercinta, Netty Christina Batubara. You mean more to me than anything in life.









Senin, 18 November 2013

Taman Suropati

*There is a place i love to go

Dalam keseharian sering kita tak menyadari bagaimana suasana rasa memberi dampak pada perilaku dan kesehatan. Tokoh rasionalis Baruch Spinoza pada sekitar abad ke-17 menjelaskan bagaimana entitas fisik dan pikiran saling berhubungan erat. Mungkin memang maksud spinoza adalah perlu satu titik untuk kita menyadari keseimbangan fisik dan mental.  Tampaknya begitu banyak fenomena yang terjadi pada manusia yang memberi dampak pada kejiwaan maupun fisik. 

Ada banyak cara tentu agar orang bisa mencari situasi untuk menimba energi. Apalagi Jakarta dengan kehidupannya  dan seabrek masalah urban yang menjadi ciri tersendiri membuat siapa saja bisa merasa jenuh. Kota yang sibuk. Tak pelak saya juga ikut menjadi bagian yang pura-pura sibuk dari kota ini. Diantara kesibukan dan kepura-puraan aktivitas di kota yang kata orang lebih kejam dari ibu tiri ini, saya senang mengunjungi tempat- tempat tertentu untuk mendapatkan energi, inspirasi atau sekedar relax. 

Di bilangan Menteng, dekat rumah jabatan nya Pa De Jokowi itu, ada sebuah taman ; namanya Taman Suropati. Dulu waktu masih menetap di Jl. Sam Ratulangi I, saya sering ke taman suropati. Karena dekat bisa jalan kaki, mungkin hanya 10 menit. Sekarang walau sudah agak jauh saya tinggal di Cijantung, saya masih sering ke taman ini, sendiri juga sesekali bersama teman.

Taman yang tidak terlalu luas sebenarnya, tapi sangat sejuk. Sejarahnya dulu taman ini disebut Burgemmester Bisshop sesuai nama gubernur Batavia yang pertama. Selain bunga-bunga yang katanya sudah ada sejak dulu ada juga patung-patung dari pemahat-pemahat se-ASean yang ada di tengah taman. 
Tempat ini bagi saya memberi suasana yang berbeda dari Jakarta. Di hari-hari biasa banyak masyarakat Jakarta  yang menjadikan taman ini untuk sekedar duduk dan menghabiskan waktu. Ada kelompok-kelompok musisi yang selalu eksis di sudut-sudut taman. Ada juga air mancur di bagian tengah taman yang memberi suasana berbeda. 

Sendirian ataupun bersama keluarga, kekasih atau mungkin selingkuhan pergi ke  taman ini tetap ada nuansa yang berbeda. Berjalan - jalan di taman ini bagi saya sedikit menghapus kekejaman Jakarta dari kesibukan dan mobilitas tanpa henti. 

Semoga selalu seimbang jiwa dan raga di selah ragam kesibukan kota ini. 


*Taman Suropati beberapa hari kemarin

Sabtu, 16 November 2013

Keberanian Jokowi & Budaya Hukum


Beberapa waktu yang lalu, di kantor, teman saya bercerita tentang pengalaman dia menerobos jalur busway  yang berujung di tahan polisi dan harus membayar denda sebesar Rp. 500.000. Sambil mencak- mencak dia mengingatkan saya, ” jangan sekali-kali menerobos lagi jalur busway kalau tidak ingin dompet anda dikuras isinya”.

Pagi tadi di sebuah ulasan TV yang saya tonton, Jokowi cukup berani lagi untuk menerapkan denda yang mahal untuk pribadi maupun koorporasi terhadap budaya membuang sampah.  “Hal ini perlu ketegasan karena sampah member dampak yang cukup meresahkan yaitu banjir” ujar Jokowi.

Keberanian-keberanian di atas menurut saya sangat berhubungan dengan budaya hukum. Memang kehidupan modern saat ini hampir tidak ada yang steril dari hukum. Semua lini kehidupan bisa dijamah oleh hukum. Itu artinya hukum sebagai pedoman sangat penting agar perilaku masyarakat tidak menyimpang. 

Lawrence Meir Friedman dengan teori sistem hukumnya bisa membantu menjelaskan ini. Menurut Friedman berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung pada ; Substansi Hukum, Struktur Hukum dan Budaya Hukum. Substansi hukum itu terkait dengan produk yang dihasilkan dalam sistem hukum. Struktur hukum berhubungan dengan aparatus atau pelaku-pelaku penegakan hukum. Sedangkan budaya hukum adalah sikap manusia/masyarakat terhadap hukum itu, dia berisi nilai serta harapan hukum itu sendiri.
Jadi sebenarnya kesadaran hukum terkait erat dengan budaya hukum masyarakatnya. Jika budaya hukumnya cenderung positif terhadap cita hukum berarti masyarakat memiliki kesadaran hukum yang tinggi.  Pada dasarnya kesadaran hukum merupakan control agar hukum benar-benar dijalankan secara baik.


Menanamkan, memasyarakatkan dan melembagakan nilai-nilai yang mendasari sebuah peraturan sangat penting. Dan Jokowi melaksanakan itu di Jakarta. 

Selasa, 12 November 2013

Ahok


Kalau di tanya sosok yang saya kagumi saat ini. Saya akan tegas sebut "AHOK'.  Ahok itu menurut saya sosok yang luar biasa.Bersih, transparan dan profesional.  Dalam sebuah survey dia malah disebut sebagai tokoh paling kontroversial. Setiap pagi jika di kantor, pertama yang akan saya lakukan adalah membaca komentar-komentar dia yang tegas dan berani di berbagai berita media online. Dia menerobos segala carut - marut birokrasi DKI dengan pernyataan-pernyataan dia yang selalu mengundang pro-kontra. Sebagai Wagub dia menghadapi buruh, pengusaha nakal sampai pada pegawai negeri yang malas. Dia menunjukkan sikap pemimpin yang perlu di contoh. Kemarian 10 November pas di hari pahlawan, dia mendefenisikan pahlawan dengan sangat sederhana, "pahlawan hari ini adalah orang yang mampu hidup bersih dan tidak korup".  Saya salut dengan gaya kepemimpinan ala Ahok.



Senin, 11 November 2013

Soulful

Aktivis Seidealis Gie pun pernah mengharu biru dalam perasaan. 

Gie menulis ;

Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru....



----------
*lihat di buku catatan seorang demonstran
*gambar, koleksi pribadi

Jumat, 08 November 2013

Kesia-siaan

Albert Camus pernah menulis tentang "Myth of cycipus". Sebuah kisah tentang absurditas, dimana akibat sebuah kesalahan Cycipus dihukum, mengangkat batu yang besar dari dasar gunung menuju puncak, digelindingkan lagi ke bawah oleh para dewa, diangkat lagi, bergelinding lagi. Terus menerus, entah hingga kapan? 

----------

Bertempur dalam realitas keseharian terkadang ada hal yang saya rasa sia-sia. sering jatuh dalam kesalahan yang sama lalu gagal untuk move on. Saya seperti berjalan di jejalan bebatuan dan berlicin lalu tanpa tujuan. Akhirnya saya merenung, ada saatnya memang hal yang sia-sia itu harus dinikmati. walaupun itu berulang dan seperti tak selesai. Yang saya takutkan hari demi hari selalu berlalu dengan rasa pesimis. saya sebenarnya orang yang optimis. tapi apa lacur, selalu ada saja hal  yang membuat pesimis. 


----------------

Saya tak sadar, sering melakukan hal-hal absurd seperti Cycipus. 



Rabu, 06 November 2013

Dari BB ke Android

Dari notifikasi facebook saya melihat satu trend. Kebanyakan orang mulai beralih dari Blackberry ke ponsel berbasis android. Popularitas BB mulai berkurang. Saya kira satu-satunya orang bertahan dengan BB karena mereka elah memiliki kontak list di BB mereka. Jika kontak listnya hilang atau BB nya rusak, maka saya yakin mereka akan beralih. hehehe

Saya juga baru saja mendowload aplikasi BBM di Samsung Galaxy Grand saya. hehehe

Bung Kanis

Petrus Kanisius Pari Parera, itu sebuah nama. Sapaan akrabnya Bung Kanis. Tentang beliau, secara pribadi saya tidak langsung mengenalnya, karena hidup di generasi yang berbeda.  Saya hanya banyak mendengar tentang dia dari penuturan dan cerita senior-senior PMKRI Cabang Kupang yang mengalami hidup langsung bersama beliau. Di Kesempatan reuni alumni PMKRI Kupang beberapa waktu lalu, napak tilas dan cerita sejarah tentang beliau muncul kembali, sampai pada lahirnya komitmen bersama melahirkan sebuah yayasan yang diberi nama "BUNG KANIS". Saya pikir itu tepat sebagai bentuk  penghargaan kepada Bung yang sangat berjasa bagi PMKRI Kupang di awal pembentukannya.

Sosok Bung Kanis saya yakin banyak yang juga tidak mengenalnya sekarang. Satu - satunya referensi tertulis yang saya dapat tentang beliau hanyalah dari buku "Jangan Takut Berpolitik" yang di sunting oleh Kakak Jannes Eudes Wawa, seorang jurnalis Kompas, yang juga alumni PMKRI Cabang Kupang. Saya yakin, usaha  Kakak Janess tidak gampang. Dengan susah payah mengumpulkan tulisan-tulisan, pidato-pidato dari Bung untuk disarikan dalam sebuah buku agar diketahui banyak orang.  Akhirnya  saya dari generasi ke sekian, mengenal semangat dan pikiran - pikiran Bung Kanis  dari buku itu.

Era tahun 60-an sampai pada akhir 80-an di wilayah NTT, Bung Kanis adalah  sebuah nama. Mengarsiteki pembentukan PMKRI Cabang Kupang 25 Oktober 1963, dan serius membina kaum muda yang ingin belajar di PMKRI serta membentuk beberapa wadah Angkatan Pendalaman Iman (API) yang berbasis dioses atau keuskupan se - NTT. Beberapa dari organisasi yang dibentuk itu masih aktif sampai sekarang seperti API Renya Rosari, MKS Sumba, Mediosa, dan ada beberapa lagi, saya lupa. 

Kreatif. itu kata yang tepat untuk menggambarkan posisi bung dalam melatih anak-anak muda NTT saat itu. Bung tidak pernah kehabisan cara dalam membangun semangat anak muda. Hal itu hampir diakui oleh semua orang yang pernah belajar bersamanya. Karena kreatif, organisasi-organisasi bentukannya menjadi bergairah dalam belajar.

Selain kreatif, beliau mempunyai totalitas yang tinggi dalam pembinaan kaum muda. Bayangkan, hanya karena asyik melatih,mengurus,dan membina kaum muda, beliau sampai lupa menikah dan tidak mempunyai rumah untuk tempat tinggal. Padahal pada saat itu beliau dalam jabatan sebagai anggota DPRD Prov. NTT. Semua gaji dan penghasilannya dihabiskan untuk pembinaan kaum muda NTT khususnya di PMKRI Cabang Kupang.

Dari kreatifitas sampai pada totalitas beliau, yang paling menonjol dari beliau adalah kemampuan retorika. Bung adalah seorang orator ulung. Bahkan ada beberapa senior meyakini pada ukuran NTT belum ada yang melampaui kemampuan dia berbicara di depan umum. Mirip Bung Karno, Bung Tomo, yang memang punya keahlian itu. Itu jadi alasan kenapa dia juga akhirnya di sematkan nama "bung" di depan namanya oleh kebanyakan orang saat itu.

Bung Kanis memang memilih jalur politik sebagai pilihan hidupnya. aktif berpartai di PDI (Jaman 3 Partai /orde baru) dan membangun kesadaran politik masyarakat NTT saat itu. Banyak pikiran - pikiran jernih dari dia tentang politik sehingga menurut saya beliau lah yang meletakkan pondasi politik nilai dan integritas politik di bumi Flobamora.

Sekarang beliau sudah tiada. Jauh di tanah Sikka sana dia dimakamkan. Sudah dua kali saya berkesampatan ziarah ke pembaringan abadinya. Setiap saya ke Maumere pasti saya sempatkan diri  ke makamnya, berdoa, dan memunculkan semangat dari semua yang dia wariskan. 

Ada satu pesan dari nya begini :
 " Anakku...
   Engkau mewarisi jiwa-jiwa pemberani,
   yang basah oleh keringat, air mata bahkan darah.
   Tapi engkau masa bodoh dan tak menentu.
   Sekarang saatnya engkau rebut warisan itu
   Dengan pengorbanan dan Kebajikan".

Pesan ini  tertulis rapi dalam sebuah karikatur bergambar wajahnya, yang selalu di pajang di marga kupang. Dan saya selalu mengingatnya. 

Semoga yayasan Bung Kanis yang dibentuk di urung rembug pesta emas kemarin menjadi media menyalurkan semangat dan pikiran - pikiran jernih beliau dalam menjawab berbagai soal sosial kemasyarakatan di NTT. 



Bung Kanis dalam suatu kesempatan kampanye.







Selasa, 05 November 2013

Dulu Aqua Sekarang Lifebuoy


Prihatin dan kesal sebenarnya melihat iklan produk di televisi yang menjual kemiskinan. Pernah ada iklan Aqua yang sempat terkenal dengan tagline “sumber air su dekat”. Iklan itu mengambil latar kehidupan masyarakat di pedalaman Timor – NTT yang kesannya kering dan hanya bisa diselamatkan dengan membeli air kemasan aqua yang diiklankan. 


Akhir-akhir ini muncul lagi iklan sabun lifebuoy yang coba menjelaskan tentang pola hidup bersih dengan harus mencuci tangan dan penjabaran angka diare yang luar biasa. Lagi – lagi itu mengambil latar NTT. 


Saya sendiri mengakui bahwa fakta tidak bisa dipungkiri. Kenyataan tidak bisa ditutup-tutupi. NTT secara populasi memang masyarakatnya masih banyak yang miskin. Secara nasional akhir-akhir ini, NTT juga tidak ada beda dengan daerah lain yang masyarakatnya  masih miskin. Banyak data juga bisa di pakai untuk mengcompair hal tersebut. Tentu ini suatu hal yang kontradiktif. Negeri ini berlimpah sumber daya alamnya tetapi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang jauh. Penguasaan SDA dominan oleh pihak asing, dan Negara seperti tergadai dan tidak punya kedaulatan. Aghhh ini terlalu jauh saya bahas.

Kembali ke iklan Tv tadi.

Saya sangat tidak setuju dengan adanya iklan-iklan produk di televisi yang menurut saya sangat terang-terangan menjual kemiskinan di NTT. Pesan iklannya seperti ingin menyampaikan ke public bahwa mereka (produk tersebut)   yang tampil terdepan dalam masalah-masalah social di NTT. Padahal saya yakin, bahkan sangat yakin, bahwa biaya iklan nya jauh lebih besar dari biaya program social kemasyarakatan. Perusahan-perusahan produk tersebut hanya akan terus meraih keping-keping keuntungan di atas puing-puing penderitaan masyarakat. Seperti pembodohan berkedok. 


Aqua dan Lifebouy, hentikan pembodohan berkedok itu. Kemiskinan NTT hanyalah Stigma. Masyarakat NTT masih cukup kuat untuk menghadapi situasinya sendiri. Kalau murni social, jangan tanggung-tanggung. Jangan juga jadi benalu, mencari keuntungan dengan menjual keadaan masyarakat.  


Minggu, 03 November 2013

Membaca tanda zaman dan Refleksi 50 tahun PMKRI

         Oleh Chris Boro Tokan

                                                           
         Perhimpunan Mahasiswa Katolik  Republik Indonesia (PMKRI), Santu Fransiskus Xaverius, Cabang  Kupang,    tanggal 25 Oktober 2013, telah genap berusia 50 tahun.  Serangkai acara menandai usia setengah abad telah dilaksanakan, dengan hasil antara lain Tim Pembentukan  Yayasan  Bung Kanis (YBK) dan Panitia Pembangunan Gedung Margasiswa (PGM). Tentu dalam jejak langkah 50 tahun, dengan mengevaluasi kekurangan dan kelebihan, senantiasa PMKRI sebagai organisasi kader di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah menyumbang kader-kadernya. Mengetahui kekurangan di hari kemarin dan menangkap tanda-tanda zaman hari ini dan memprediksinya ke depan, senantiasa  menjadi pijakan menapaki  pembinaan dan pergerakan PMKRI  akan datang, dengan memulai rencana mendirikan YBK  dan PGM.  Dengan  asumsi  bahwa  YBK dan  PGM merupakan dua hal mendasar  saling dialektik yang  menunjang peningkatan  kualitas  pengkaderan  anggota  PMKRI  ke depan dalam upaya  menjawabi tanda-tanda zaman.

Membaca tanda zaman dan kotbah Uskup Agung

       Manusia dan zaman (proses waktu)  selalu dialektik dalam mewarnai  ziarah hidup kehidupan.  Dalam tanda-tanda zaman yang dipantulkan  alam semesta (makrokosmos),  dan manusia (mikrokosmis) mewarnai  proses zaman dengan terlebih dahulu secara cermat dan cerdas  membaca  pantulan tanda-tanda zaman itu. Kecermatan dan kecerdasan dalam membaca tanda-tanda zaman itu, membuat manusia  mampu menegaskan misi dalam mewarnai kelanjutan  kehidupan  dengan melarut tapi tidak hanyut  digilas zaman (Bandingkan Pater Beek, SJ : “LARUT TETAPI TIDAK HANYUT”, Jakarta: Obor, 2008). Melarut !!! Ibarat garam selalu melarut  asinnya dalam mewarnai proses masakan makanan. Tetapi  keasinan garam itu tidak hanyut, karena kalau hanyut tentu tidak terasa perannya dalam misi menyedapkan makanan. Dalam konteks itu dimaknai spirit pesan Bapak Uskup Agung Kupang  Mgr. Petrus Turang, Pr dalam misa syukur 50 tahun PMKRI Kupang, 25 Oktober 2013, tentang “keintelektualan  alumni  PMKRI  Kupang  dalam  membaca  tanda-tanda  zaman”.

       Harapan Uskup Agung dalam kotbahnya, bahwa PMKRI dan alumninya  di daerah provinsi Nusa Tenggara Timur, bahkan di Indonesia harus mampu membaca tanda-tanda zaman, agar dapat berperan secara baik dan benar sebagai kekuatan intelektual.  Artinya dalam memaknai pesan  kotbah itu,  para kader PMKRI dalam mewarnai proses zaman senantiasa melarut, namun dituntut untuk tidak hanyut digilas zaman. Alumni  PMKRI tentu melarut di  mana-mana dalam mewarnai proses  zaman, namun tentu tidak boleh hanyut  ke mana-mana. Antara lain Yang Mulia Bapak Uskup Agung menandaskan bahwa korupsi itu memang tidak baik, dan harus ditolak, titik !!!. Tidak ada kompromi lagi untuk itu. Dengan demikian alumni PMKRI tidak boleh hanyut dalam korupsi di setiap peran intelektualnya yang  melarut dalam setiap proses mewarnai pembangunan kemanusiaan dan kesemestaan alam demi kemuliaan  Allah, Sang Pencipta.

       Pantulan tanda-tanda zaman sering menampakan citra manusia merupakan makhlukdualitas, berdiri di titik antara rasional (homo sapiens), ketajaman intelektualitas dan irasional (homo religious), kedasyatan keyakinan, di dalam perannya sebagai makhluk sosial (homo socio), fraternitas. Dalam keterbelahan diri manusia sebagai makhluk dualitas, agama seharusnya  senantiasa hadir (omnipresent), sebagai kekuatan iman (Kristianitas)yang meneguhkan/menyatukan dalam setiap kebersamaan kehidupan manusia dan alam semesta demi kemuliaan Sang Pencipta. Kekuatan iman yang dasyat senantiasa menggerakan keberanian setiap manusia menembus kabut gelap perjalanan zaman dalam konflik irasionalitas vs rasionalitas. Semua dimensi (irasionalitas tradisi/keyakinan, rasionalitas ilmu pengetahuan/logika, dalam kebersamaan sosial/fraternitas) senantiasa dalam tititk temu keteguhan kedasyatan  iman supaya  terjadi harmoni dalam proses  zaman: saling dialektik-integralistik-sinergik !!! Jika dimensi-dimensi itu tidak mencapai titik temu (harmoni) dalam prosesnya, tentu akan terjadi gejolak dalam diri manusia. Gejolak yang mewarnakan kebersamaan sosial yang saling berhadapan antara irasionalitas vs rasionalitas.  

         Keteguhan kedasyatan  iman agama  (kristianitas) menjadi hal terutama dalam mencahaya-terangkan titik temu antara tradisi (keyakinan, irasionalitas)   dengan ilmu Pengetahuan  (modernitas, rasionalitas)  di dalam kebersamaan  kehidupan sosial, fraternitas.  Dalam keteguhan kedasyatan iman agama yang digembleng dalam PMKRI, senantiasa ke depan kader PMKRI diandalkan  dapat menetralisir kecenderungan ambigu  dalam dirinya sebagai manusia. Karena tanda zaman kekinian dan akan datang senantiasa tidak terhindarkan pemantulan  keterpecahbelahan keutuhan kemanusian dalam diri pribadi setiap anak  zaman. Dengan demikian salah satu dimensi  yang mendominasi dirinya, kecenderungan itulah yang akan menggerakan pewarnaan zamannya. Fenomena kebersamaan sosial yang rasional, sering ditandai dengan terkikisnya spiritualitas manusia,  digerus oleh kebuasan dan ketamakan manusia itu sendiri. Semua warna kekerasan zaman melalui ketamakan manusia itu tidak hanya mewariskan permasalahan, tapi menjadi refleksi bahwa manusia di samping mempunyai kehakikian kemanusiaan, juga memiliki kecenderungan kebinatangan (kesrigalaan). Manusia bisa lebih buas daripada binatang terbuas. Melihat dimensi kebuasan manusia itu, Hobbes kemudian menyebut manusia sebagai homo homoni  lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain.

          Pesatnya kemajuan dalam bidang informasi tidak hanya melipat dunia menjadi kecil, namun meleburkan batas teritorial, dan mengaburkan garis penegasan identitas primordial (ras, bahasa, budaya, ideolgi), sekalian memantulkan pula realitas keberingasan manusia dalam memuja materi, imaji, kehormatan, dan gengsi tanpa batas. Dalam himpitan ruang proses zaman yang demikian, manusia menjadi terasing dengan diri sendiri. Spiritualitas  (tradisi yang diteguhkan iman agama) sebagai roh  kehidupan terkikis. Manusia tidak lagi berpikir secara benar, cerdas, dan mempunyai hati yang merasakan  secara baik, cermat, etik!!! Kedasyatan cahaya  iman agama  yang menerangi nurani dalam mengemban tanggungjawab kemanusiaan dalam pewarnaan zaman, menjadi  terhanyut  dalam  kabut  gelap perseteruan kepentingan sosial vs kepentingan individu, suku, kelompok. Menjebak manusia  sering dalam ketidaksadarannya,  ibarat robot!!!  Terasing dari diri sendiri dan kebersamaan sosial  sebagai akibat dorongan kuat hasrat penguasaan terhadap materi yang merupakan andalan kebahagiaan dan kehebatan duniawinya. Maka sering ketakutan dan kecemasan terus menggerayangi keteguhan kedasyatan iman agamanya. Ketika ketidakseimbangan itu terus membayangi dalam upaya pewarnaan zaman, maka depresi sosial pun terjadi, frustras kehidupan melanda. Lalu merasa benar dan meyakini baik apa yang dibuat dalam setiap proses pewarnaan zaman, walaupun itu tidak sesuai dengan spiritualitas iman agama.  Dalam konteks pantulan tanda-tanda  zaman demikian,  ditempatkan pesan  Uskup Agung  tentang kekinian dan akan datang diperlukan keahlian komunikasi  informasi  dan psikolog dalam menyampaikan pesan (menjelaskan)  pantulan tanda-tanda zaman itu. Artinya komunikasi informasi yang cerdas, cermat, tepat, santun   untuk dapat ditangkap, dipahami oleh para alumni PMKRI, agar peran mewarnai  (melarut)  dalam proses zaman,  senantiasa  tidak hanyut digilas  zaman.


Refleksi  50 tahun , “titik temu”nya  Cosmas dan keberanian Bung Kanis


      Harapan Cosmas Batubara dalam “Temu dan Sarasehan Alumni” tanggal  24 Oktober 20013, bahwa keberadaan alumni  dalam setiap pewarnaan zaman  harus  menjadi “titik temu” dalam dualitas  pewarnaan hidup manusia zamannya. Hal itu menjadi  kesaksian hidup  Bung Cosmas dalam seluruh kiprah  kehidupan politik dan pemerintahan yang telah dilaluinya. Artinya sesuai kemampuan dirinya, Cosmas selaku alumni PMKRI selalu berusaha  menjadi   sintesa dalam setiap tesis vs antitesis  pewarnaan zaman  kehidupannya. Begitupun seorang  Bung Kanis (Petrus Kanisius Pari Parera), pendiri  PMKRI Kupang  25 Oktober 1963. Keberanian seorang Bung Kanis, nampak dalam mendirikan PMKRI Kupang bersama komponen kekuatan katolik  lainnya sebagai sintesa terhadap tesis komunis vs antitesis   militer saat itu. Hal itu dilakukan pula Cosmas Batubara dalam tahun 1966 sebagai Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam  mengganyang kekuatan komunis di Indonesia. Keberanian Bung Kanis  muncul lagi  dengan mau  balik  dari  Jakarta  ke Kupang, dan menetap di akhir 1979–1987. Dengan niat dan harapan membina keberanian berpolitik generasi muda mahasiswa (Bandingkan Kanis Pari: JANGAN TAKUT BERPOLITIK, Jakarta: Bank Naskah Gramedia-Pakem, 2004), agar kelak lahir  lapisan generasi baru pemimpin masa depan di NTT. Maka seluruh pembinaan informal PMKRI ditangani Bung Kanis, antara lain dengan mulai mengarsiteki  terbentuknya  Aktifitas Pendalaman Iman (API) yang menghimpun setiap generasi muda mahasiswa di kota Kupang sesuai asal keuskupannya.   Harapan Bung Kanis menjadi  nyata saat memasuki abad 21, banyak pemimpin muda NTT lahir dari sentuhan pembinaannya bersama PMKRI Kupang.

     Keintelektualan alumni  PMKRI  membaca tanda-tanda zaman  melalui kedasyastan  terang iman kristiani  demi pewarnaan zaman di setiap kebersamaan sosial, telah  dipesankan Uskup Agung Kupang. Di waktu lalu telah menjadi kesaksian hidup dalamkeberanian seorang Bung Kanis  dan dalam “titik temu”nya seorang Cosmas Batubara, keduanya  telah mencahaya-terangkan iman kristiani, melarut tetapi tidak hanyut!!!  Tentu pesan Uskup Agung Kupang,   kesaksian hidup Bung Kanis dan Cosmas Batubara  menjadi  refleksi  bagi seluruh alumni yang kini sedang bersama-sama mewarnai  proses  zaman. Ke depan, diharapkan kader, alumni PMKRI  dalam kedasyatan kekuatan iman (kristianitas) harus berani berjuang menyatukan secara harmonis:  antara berfikir logis (rasional),intelektualitas dengan  keyakinan etik  (kebaikan  hati)  yang sering irasional, magic-religius  di dalam  membangun kebersamaan sosial (fraternitas),  sehingga saling dialektik-integralsitik-sinergis dalam pewarnaan zaman. 

       Sebagai kader PMKRI,  dalam  setiap kebersamaan  pewarnaan zaman senantiasa tetap  memiliki  pendasaran keteguhan kedasyatan iman. Dengan demikian  dalam keliaran pikiran, dalam pengembangan  ide dan membangun gerakan, senantiasa selalu terukur  demi mendidik hati dan merawat nurani sosial. Dalam keberanian mencari dan mencapai titik temu dalam proses pewarnaan zaman, di situ terletak  keberhasilan membangun keharmonisan hidup bersama  yang menembus kabut gelap tanda-tanda zaman dalam konflik irasional vs rasional, tradisionalisme vs modernism,  kepentingan sosial vs kepentingan individu, suku, kelompok. Di situ bersinar terang  cahaya kemanusiaan  sebagai citra diri dari Sang Pencipta.  Dalam dialektika pewarnaan zaman yang demikian  diletakan spirit  pemahaman tentang   rencana pendirian Yayasan Bung Kanis (YBK)  dan Pembangunan Gedung Margasiswa (PGM) sebagai  hasil refleksi 50 tahun PMKRI Kupang, untuk ke depan selalu:  “Manunggal  dengan  Umat, terlibat bersama Rakyat !!!”

          Khotba Uskup Agung  secara tegas meminta PMKRI Kupang bersama seluruh alumni sebagai  kekuatan  intelektual senantiasa mampu membaca tanda-tanda zaman melalui kekuatan terang iman (kristianitas). Maka dalam konteks  semboyan PMKRI religio omnium sciantiarum anima, “agama adalah jiwa dari segala ilmu pengetahuan”, tentu dalam menapaki 50 tahun ke depan makna semboyan itu harus direflesikan demi penyempurnaan pemahaman dalam menuntun pewarnaan zaman. Perumusan yang refleksif: “keyakinan tradisi yang selalu diteguhkan dalam iman agama menjadi jiwa dari segala ilmu pengetahuan”. Artinya keyakinan tradisi yang bertentangan dengan nilai kristianitas, sehingga tidak mungkin terteguhkan dalam iman agama, senantiasa tidak menjadi jiwa dari ilmu pengetahuan, untuk digunakan dalam pewarnaan zaman. Dengan demikian PMKRI dan alumni terus merefleksi diri:  apakah selalu  ada iman sebiji sesawi yang terus membenih dan selalu tumbuh  dalam pewarnaan zaman  sehari-hari  melalui  kepasrahan hidup yang berkerendahan hati untuk selalu mengasihi Allah? Karena dalam diri Allah itu tercitrakan kemanusiaan seorang anak manusia dan kesemestaan alam sebagai ciptaanNya! ***

                                                 Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, 29 Oktober 2013  
*Catatan senior saya Chris Boro Tokan, setelah kegiatan 50 tahun PMKRI Cabang Kupang.